Senin, 20 Juli 2015

PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

1.   Lahirnya PGRI Non – Vaksentral

            Periode tahun 1962-1965 merupakan periode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan periode – periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu karena ambisi politik dari luar dengan dalih “ maths machtvorming en matchsaan wending “. Kubu komunis menunjuk Soepardi dan Goldfried menjadi ketua dan wakil ketua pemilihan PB PGRI. Tapi ternyata Goldfried adalah penanda tangan “ surat selebaran fitnah “ sehingga dia dikeluarkan dan digantikan oleh M.E Subiadinata.
            Pada bulan pertama sesudah kongres X , PGRI menghadapi kesulitan besar  karena pemasukan  dana dari Jawa Tengah dan jawa timur sangat seret,tetapi kegiatan PGRI tetap berjalan.
            Masalah dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN kedalam soksi yang diputuskan dengan 12 suara dan 2 suara kontra, tapi hal itu tidak mengubah kekompakkan dilingkungan PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan semua pihak bahwa dukungan tersebut tidak berlaku lagi jika 2 syarat diajukan PBPGRI  yakni “ soksi bukan merupakan vaksentral “ dan “ nama soksi harus diganti “ .
            Selasa 9 juni 1964 akan diadakan rapat PBPGRI yang akan membahas masalah soksi sesuai dengan keputusan rapat PBPGRI . Keputusan PBPGRI untuk menarik kembali dukungannya terhadap masuknya PSPN kedalam soksi. Oleh sebab itu soebandri ,moejono dan ichwani mengadakan rapat pada tanggal 7 juni 1964, karena bila terlambat mereka tidak dapat mempergunakan dalil non-vaksentral sebagai propaganda mereka.Secara terbuka mereka tidak berani membela “ panca cinta “ sebagai isi moral system pendidikan pancawardhana.
            Pada malam perkenalan PBPGRI Non-Vaksentral tidak banyak orang yang datang,sebagai penggantinya mereka mengerahkan murid-murid sekolah yang tidak tau tentang politik.

2.   Pemecatan Massal Pejabat Departemen P & K (1964)

            Pidato inagurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama mapenas menyarankan agar Pancawardhana diisi dengan moral “ Panca Cinta “. Namun isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik, karena hal itu dirasakan sangat berkaitan  langsung dengan seorang pendidik.
            Keputusan presiden No. 187/1964 dan 188/1964 pada tanggal 4 agustus 1964  (perubahan dari P & K ) tanggal 29 Juli 1964 No. 17985/S tentang reorganisasi Departemen P & K yang mengubah jumlah pembantu P&K. Hal itu menggelisahkan  para pejabat di Departemen P&K. Maka sebanyak 28 pegawai (seorang kemudian menarik diri) mengirim surat kepada Mentri Prijono. Surat itu ditanggapi dengan memberhentikan pejabat.
            Tindakan tersebut menimbulkan berbagai kehebohan berbagai ormas dan beberapa perwakilan Dinas P&K memprotes keras pemberhentian tersebut. Namun di sisi lain serikat sekerja pendidikan dan PGRI Non-Vaksentral mendukung pemberhentian tersebut. Pejabat tinggi yang diberhentikan tersebut ditampung oleh markas besar TNI AD  dan nasibnya diurus Letnan Kolonel Amir Murtono, SH.
            Karena heboh pemecatan 27 orang pejabat akhirnya presiden Soekarno membentuk panitia dengan nama “ Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana “. Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang pemecatan missal tersebut. Oleh panitia Negara 27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah. Sebanyak 13 orang diperbolehkan kerja kembali di Departemen P&K, sedangkan yang lain masih ditampung oleh Mabes TNI AD dan di Depdagri. Agustus 1966 mereka direhabilitasi dan dikembalikan ke Departemen P&K oleh pemerintah orde baru.

3.   PGRI PASCA PERISTIWA G30S/PKI

            Bagi PGRI periode tahun 1966 – 1972 merupakan masa penyesuaian kembali organisasi dalam pola pembangunan nasional yang baru. Sehingga kaderisasi perlu dilakukan untuk mendapatkan pemimpin yang berdedikasi tinggi, kemampuan manajerial yang mantap dan pengalaman yang mendukung.
            Kegiatan dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan mulai di bina kembali. Selain itu PGRI juga tidak mau menyebut dirinya sebagai “serikat buruh”. Karena jabatan guru secara hakiki bebeda dengan jabatan buruh murni. Sehingga PGRI memprakasai berdirinya MPBI yang akhirnya berkembang menjadi FBSI (Federasi Buruh Indonesia). Dalam perkembangannya PGRI tidak mempunyai tempat dalam federasi tersebut karena beberapa hal :
Ø   FBSI beranggotakan buruh murni, Pgri tidak bisa digolongkan buruh             murni
Ø   FBSI harus swasta, PGRI adalah guru-guru negeri dan swasta
Ø   FBSI berprinsip “ trade unitarism”, PGRI berprinsip “ profesinal”
Ø   FBSI berada dibawah pimpinan Departemen Tenaga Kerja, PGRI dibawah    pimpinan  P&K
            Orde baru pernah melalui dua model demokrasi yaitu Demokrasi terpimpin dan Demokrasi Liberal. Hal tersebut membuat PGRI menjadi rebutan berbagai partai politik. Karena prinsip PGRI yang unitaristik, independen dan non partai politik, maka PGRI tetap konsisten dalam memperjuangkan untuk memperbaiki nasib guru serta memfasilitasi peningkatan profesionalismenya

4.   Usaha PGRI Melawan PGRI Non- Vaksentral/PKI

            Dekrit presiden 5 juli 1959 yang kemudian disusul dengan pidato kenegaraan Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959 merupakan kebijaksanaa yang diterima dengan penuh penghargaan dan harapan oleh segenap bangsa Indonesia. Tetapi dalam prakteknya dekrit tersebut salah arah sehingga situasi masyarakat berbeda. Setiap kegiatan masyarakat dan kebijakan pemerintah didasari bahawa “ Politik  adalah Panghlima”. Orang- orang yang beda pendapat, apalagi bila bertentangan dengan pandangan pemerintah, dengan mudah dituduh “ Kontrev”, anti-Manipol, agen sub versi asing dsb.
            Politik nasakom dibangun berlandaskan bentuk persatuan.pemerintah dipusatkan pada satu tangan yaitu Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI /Mandataris MPR dengan bermacam-macam gelar agungnya.
            Zaman orde baru orang yang berbeda pendapat dicap anti pembangunan nasional, anti-pancasila,ekstern kiri,ekstern kanan, ekstern lainnya, PKI dan sejenisnya. Setelah G30S/PKI bangsa Indonesia sadar bahwa semua itu perngkap PKI.
            Pada kongres IX PGRI di Surabaya (oktober 1959), infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar-benar terasa, dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November 1962).
            PKI yang diwakili guru-guru berorientasi ideology komunis tak mampu lagi melakukan taktik-taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI.
            Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru, Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk majelis pendidikan nasional yang menerbitkan Penpres No. 19 tahun 1965. Penpres tersebut tidak dapat mempersatukan organisasi ini.




Daftar Pustaka:
Basyuni Suriamiharja. 2003. Perjalanan PGRI (1945-2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar