1. Lahirnya PGRI Non – Vaksentral
Periode
tahun 1962-1965 merupakan periode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini
terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan
periode – periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu karena ambisi politik
dari luar dengan dalih “ maths machtvorming en matchsaan wending “. Kubu
komunis menunjuk Soepardi dan Goldfried menjadi ketua dan wakil ketua pemilihan
PB PGRI. Tapi ternyata Goldfried adalah penanda tangan “ surat selebaran fitnah
“ sehingga dia dikeluarkan dan digantikan oleh M.E Subiadinata.
Pada
bulan pertama sesudah kongres X , PGRI menghadapi kesulitan besar karena pemasukan dana dari Jawa Tengah dan jawa timur sangat
seret,tetapi kegiatan PGRI tetap berjalan.
Masalah
dukungan PGRI terhadap masuknya PSPN kedalam soksi yang diputuskan dengan 12
suara dan 2 suara kontra, tapi hal itu tidak mengubah kekompakkan dilingkungan
PGRI. Hal ini disebabkan adanya kejelasan semua pihak bahwa dukungan tersebut
tidak berlaku lagi jika 2 syarat diajukan PBPGRI yakni “ soksi bukan merupakan vaksentral “ dan
“ nama soksi harus diganti “ .
Selasa
9 juni 1964 akan diadakan rapat PBPGRI yang akan membahas masalah soksi sesuai
dengan keputusan rapat PBPGRI . Keputusan PBPGRI untuk menarik kembali
dukungannya terhadap masuknya PSPN kedalam soksi. Oleh sebab itu soebandri
,moejono dan ichwani mengadakan rapat pada tanggal 7 juni 1964, karena bila
terlambat mereka tidak dapat mempergunakan dalil non-vaksentral sebagai
propaganda mereka.Secara terbuka mereka tidak berani membela “ panca cinta “
sebagai isi moral system pendidikan pancawardhana.
Pada
malam perkenalan PBPGRI Non-Vaksentral tidak banyak orang yang datang,sebagai
penggantinya mereka mengerahkan murid-murid sekolah yang tidak tau tentang
politik.
2. Pemecatan Massal Pejabat Departemen P & K (1964)
Pidato
inagurasi Dr. Busono Wiwoho pada rapat pertama mapenas menyarankan agar
Pancawardhana diisi dengan moral “ Panca Cinta “. Namun isi pidato tersebut
menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik, karena hal itu
dirasakan sangat berkaitan langsung
dengan seorang pendidik.
Keputusan
presiden No. 187/1964 dan 188/1964 pada tanggal 4 agustus 1964 (perubahan dari P & K ) tanggal 29 Juli
1964 No. 17985/S tentang reorganisasi Departemen P & K yang mengubah jumlah
pembantu P&K. Hal itu menggelisahkan
para pejabat di Departemen P&K. Maka sebanyak 28 pegawai (seorang
kemudian menarik diri) mengirim surat kepada Mentri Prijono. Surat itu
ditanggapi dengan memberhentikan pejabat.
Tindakan
tersebut menimbulkan berbagai kehebohan berbagai ormas dan beberapa perwakilan
Dinas P&K memprotes keras pemberhentian tersebut. Namun di sisi lain
serikat sekerja pendidikan dan PGRI Non-Vaksentral mendukung pemberhentian
tersebut. Pejabat tinggi yang diberhentikan tersebut ditampung oleh markas
besar TNI AD dan nasibnya diurus Letnan
Kolonel Amir Murtono, SH.
Karena
heboh pemecatan 27 orang pejabat akhirnya presiden Soekarno membentuk panitia
dengan nama “ Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana “.
Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang pemecatan
missal tersebut. Oleh panitia Negara 27 orang tersebut dinyatakan tidak
bersalah. Sebanyak 13 orang diperbolehkan kerja kembali di Departemen P&K,
sedangkan yang lain masih ditampung oleh Mabes TNI AD dan di Depdagri. Agustus
1966 mereka direhabilitasi dan dikembalikan ke Departemen P&K oleh
pemerintah orde baru.
3. PGRI PASCA PERISTIWA G30S/PKI
Bagi
PGRI periode tahun 1966 – 1972 merupakan masa penyesuaian kembali organisasi
dalam pola pembangunan nasional yang baru. Sehingga kaderisasi perlu dilakukan
untuk mendapatkan pemimpin yang berdedikasi tinggi, kemampuan manajerial yang
mantap dan pengalaman yang mendukung.
Kegiatan
dan perjuangan PGRI dalam bidang pendidikan mulai di bina kembali. Selain itu
PGRI juga tidak mau menyebut dirinya sebagai “serikat buruh”. Karena jabatan
guru secara hakiki bebeda dengan jabatan buruh murni. Sehingga PGRI memprakasai
berdirinya MPBI yang akhirnya berkembang menjadi FBSI (Federasi Buruh
Indonesia). Dalam perkembangannya PGRI tidak mempunyai tempat dalam federasi
tersebut karena beberapa hal :
Ø
FBSI beranggotakan buruh murni, Pgri tidak bisa digolongkan
buruh murni
Ø
FBSI harus swasta, PGRI adalah guru-guru negeri dan swasta
Ø
FBSI berprinsip “ trade unitarism”, PGRI berprinsip “
profesinal”
Ø
FBSI berada dibawah pimpinan Departemen Tenaga Kerja, PGRI
dibawah pimpinan P&K
Orde
baru pernah melalui dua model demokrasi yaitu Demokrasi terpimpin dan Demokrasi
Liberal. Hal tersebut membuat PGRI menjadi rebutan berbagai partai politik.
Karena prinsip PGRI yang unitaristik, independen dan non partai politik, maka
PGRI tetap konsisten dalam memperjuangkan untuk memperbaiki nasib guru serta
memfasilitasi peningkatan profesionalismenya
4. Usaha PGRI Melawan PGRI Non- Vaksentral/PKI
Dekrit
presiden 5 juli 1959 yang kemudian disusul dengan pidato kenegaraan Presiden
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959 merupakan kebijaksanaa yang diterima
dengan penuh penghargaan dan harapan oleh segenap bangsa Indonesia. Tetapi
dalam prakteknya dekrit tersebut salah arah sehingga situasi masyarakat berbeda.
Setiap kegiatan masyarakat dan kebijakan pemerintah didasari bahawa “ Politik adalah Panghlima”. Orang- orang yang beda
pendapat, apalagi bila bertentangan dengan pandangan pemerintah, dengan mudah
dituduh “ Kontrev”, anti-Manipol, agen sub versi asing dsb.
Politik
nasakom dibangun berlandaskan bentuk persatuan.pemerintah dipusatkan pada satu tangan
yaitu Bung Karno sebagai Presiden/Panglima Tertinggi ABRI /Mandataris MPR
dengan bermacam-macam gelar agungnya.
Zaman
orde baru orang yang berbeda pendapat dicap anti pembangunan nasional,
anti-pancasila,ekstern kiri,ekstern kanan, ekstern lainnya, PKI dan sejenisnya.
Setelah G30S/PKI bangsa Indonesia sadar bahwa semua itu perngkap PKI.
Pada
kongres IX PGRI di Surabaya (oktober 1959), infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI
benar-benar terasa, dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta (November
1962).
PKI
yang diwakili guru-guru berorientasi ideology komunis tak mampu lagi melakukan
taktik-taktik penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dan melakukan
usaha terang-terangan untuk memisahkan diri dari PGRI.
Untuk
menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan dikalangan guru,
Presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk majelis pendidikan nasional
yang menerbitkan Penpres No. 19 tahun 1965. Penpres tersebut tidak dapat
mempersatukan organisasi ini.
Daftar Pustaka:
Basyuni Suriamiharja. 2003. Perjalanan PGRI (1945-2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar