Selasa, 02 Desember 2014

Suci’s Life Story [Cerbung] Part 1

Senin Wage. 17 Syawal 1412 atau 20 April 1992. Dari keluarga yang istimewa, lahirlah seorang putri cantik. Suci. Nama indah yang diberikan orang tuaku. Memberikan kebahagiaan bagi keluarga besarku. Cucu kesayangan dari dua pasang kakek nenek petani sukses waktu itu. Mereka telah mengukir kehidupan dengan seni yang luar biasa indahnya. Mereka hidup dengan gaya yang sederhana dan elegan tapi rasa bahagia selalu mengalir di setiap detiknya.

Waktu terus berputar. Orang tuaku telah merawatku dengan cinta. Kasih sayang tak henti-hentinya mereka curahkan untuk anak pertamanya. Tak sedikitpun mereka melewatkan pertumbuhan dan perkembangan si buah hati tercinta. Suci kecil kini telah berumur 3 tahun. Di tahun ini keluarga istimewa itu kembali mendapatkan anugrah terindah dari Tuhannya. Tiana. Perempuan mungil yang akan menghiasi kehidupan keluarga kecil bahagia itu. Yang akan ikut mengukir keindahan di setiap sisi kehidupan Suci.

Di umurku yang 5 tahun, kakek (ayah mama) meninggal dunia. Satu hal yang aku sesalkan sampai saat ini adalah keinginan terakhir kakek untuk menciumku di saat-saat terakhirnya tidak kesampaian. Karena aku yang sibuk lari-larian ke sana kemari, senang sekali karena di rumah kakek banyak saudara-saudara yang datang. Aku sama sekali tidak tahu apa itu “kematian”.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, mamaku masuk rumah sakit. Waktu itu aku sama sekali tidak tahu. Mengapa kedua nenekku, tante-tante, dan budhe-budhe rame-rame di rumah? Dan mengapa mamaku tidak ada di rumah? Mama kemana? Fix. Akhirnya aku tahu. Mama masuk rumah sakit karena sakit usus buntu. Begitu kata budhe. Apa reaksiku waktu itu? Menangis?? Tidak lah. Suci anak yang kuat, Suci anak yang kuat, dan Suci anak yang tabah. Palingan juga selama seminggu mama di rumah sakit aku tidak bisa tidur.

Seminggu kemudian mama pulang dari rumah sakit. Hari-hari selanjutnya bapak lebih protectiv sama mama. Kehidupan mulai berjalan normal dan waktu terus berjalan sesuai ketentuanNYA.

Aku, Suci. Tetap menjadi anak kesayangan orang tuaku dan cucu kesayangan kakek nenekku. Bahkan melebihi adikku. Setiap nenek pulang dari pasar selalu dibelikan oleh-oleh dan diberikan uang jajan. Hidupku sungguh sangat bahagia waktu itu.

Suci kecil telah masuk TK. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar jemput oleh bapak. Hari-hari kuhabiskan dengan bermain dan belajar. Permainan favorit waktu TK adalah ayunan dan perosotan. TK adalah masa dimana aku tidak tahu apa itu yang namanya belajar. Yang aku mau tahu hanya bahagianya bermain. Cita-cita yang aku gantungkan sejak TK adalah menjadi seorang guru. Seperti Ibu guru yang mengajarku di TK itu.

Aku suka bermain dengan bestfriendku. Diaz dan Dion. Dion adalah cowok paling cool di kelasku waktu itu dan Diaz adalah anak temannya mamaku. Rumah mereka berdua tidak terlalu jauh dari rumahku.

Waktu bermain, sedikit belajar, dan banyak jajan di TK itu telah selesai. Aku telah dinyatakan lulus dari Taman Kanak-kanak favorit di desa itu. Aku kembali mengukir perjalanan hidupku dengan masuk ke sekolah dasar. Lagi-lagi aku satu kelas dengan duo bestfriendku itu. Badung-badung bareng, gila-gilaan bareng, dan “keren”nya lagi adalah bolos-bolos bareng.

Mulai memakai seragam putih merah, dengan dasi merah, dan topi merah kebanggaan selalu dipakai kemanapun. Saat di kelas sekalipun hingga warnanya menjadi lusuh. Waktu belajar di bagi menjadi 2 bagian. Masuk pagi jam 7 dan masuk siang jam 10. Tidak tahu mengapa harus dibuat seperti itu.

Heboh. Garing. Lucu. Gila. Itu ketika sudah minta izin berangkat ke sekolah sebelum jam 7 pagi, tiga sekawan sudah berkumpul di jalan menuju sekolah, dan seingat kami bertiga adalah jadwal masuk siang. Jadi kami memutuskan untuk jalan-jalan terlebih dahulu. Jalan-jalan di sekitar pegunungan yang ada di desa kami. Jalan itu sedikit bertebing dengan jalan yang agak becek. Dengan pemandangan yang menakjubkan, kami bertiga terus menyusuri jalan pegunungan yang terjal itu. Sesekali Dion menggendong salah satu diantara kami dan menggandeng satu yang lain. Tetapi lebih sering aku yang digendongnya karena Diaz sedikit lebih gendut dari pada aku. J

Setelah jalan dirasa sudah mulai panas, kami fokuskan untuk jalan lebih cepat ke sekolah. Sampai di sekolah kami langsung menuju kelas dan anak-anak yang dikelas telah selesai berdoa mau pulang. Kami bertiga menunggu di luar karena perkiraan kami itu adalah kelas pagi yang baru mau pulang. Setelah kelas kosong, kami bertiga masuk ke kelas dan ternyata hari itu tidak ada kelas siang. Semua anak sudah masuk kelas pagi dan hanya kami bertiga yang tidak masuk. Begitu kata Bu Guru yang menjadi guru kelas kami. Sedih, takut, kecewa, menyesal, dan senang. Itu yang kami rasakan saat itu. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan singgah sebentar ke rumah Juna teman sekelas kami untuk menanyakan pelajaran dan tugas hari itu. Setelah dari rumah Juna kami ke rumah Diaz untuk mengantarnya pulang dan bermain sebentar disitu. Setelah lelah bermain, Dion mengantarku pulang. Walaupun rumah Dion dan Diaz bersebelahan dan rumahku tidak searah dengan rumah mereka, Dion tetap mengantarku pulang.

Hari-hari selanjutnya kami tetap ceria, belajar, dan bermain, serta lebih memperhatikan jadwal masuk kelas. Tiba saatnya ujian catur wulan. Kami bertiga selalu mendapatkan peringkat 3 besar di kelas. Peringkat 1 kelas sudah seperti wajib kami dapatkan dan menjadi layaknya piala bergilir untuk kami. Begitu seterusnya hingga kami di kelas 3.

Di kelas 3 Dion pindah ke Kalimantan. Ayahnya dipindahtugaskan kesana. Sedih, kecewa, terharu. Sampai akhirnya kami bertiga untuk tidak saling melupakan dan percaya suatu saat nanti pasti Allah SWT akan mempertemukan kita kembali.


Suci kecil kini tumbuh menjadi perempuan cerdas dan berbudi luhur. Dan seketika keadaan berubah 180 derajat. Aku divonis terkena kanker tulang stadium rendah oleh salah satu dokter yang praktik di rumah sakit pusat di Jogja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar